Jumat, 08 Juni 2012

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

SEKOLAH : SMA NEGERI 2 KENDARI
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : 1

A. STANDAR KOMPETENSI :
Berbicara :
2. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi, dan bercerita

B. KOMPETENSI DASAR :
2.2 Mendiskusikan  masalah (yang ditemukan dari berbagai berita, artikel, atau buku) 

C. MATERI PEMBELAJARAN :
Teks berita, artikel, buku  yang berisi informasi aktual (misalnya, AIDS/HIV, SARS, bencana alam)
1. penentuan masalah dalam berita
2. daftar kata sulit dan maknanya

D. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI
NoIndikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya dan Karakter Bangsa   Kewirausahaan/Ekonomi Kreatif
1.Mencatat masalah dari berbagai sumber
  • bersahabat/komunikatif
  •  tanggung jawab
  • kepemimpinan
2.menanggapi masalah dalam berita, artikel, dan Buku
3.
mengajukan saran dan pemecahan terhadap masalah yang disampaikan

4.
mendaftar kata-kata sulit dalam bacaan
5.
membahas maknanya


E. TUJUAN PEMBELAJARAN :
Siswa dapat :
1) Mencatat masalah dari berbagai sumber
2) Menanggapi masalah dalam berita, artikel, dan buku
3) Mengajukan saran dan pemecahan terhadap masalah yang disampaikan
4) Mendaftar kata-kata sulit dalam teks bacaan
5) membahas maknanya

F. METODE PEMBELAJARAN :
• Penugasan
• Diskusi
• Tanya Jawab
• Ceramah
• Demonstrasi

G. Strategi Pembelajaran


Tatap MukaTerstruktur Mandiri
  • mengamati teks berita, artikel, buku yang berisi informasi aktual
  • Mencari dan Mengumpulkan Data (misalnya AIDS/HIV, SARS Bencana Alam)
  • siswa dapat mencatat masalah dari berbagai sumber
  • menuliskan kata sulit dalam bacaan
  • mendaftar kata-kata sulit dalam bacaan
  • siswa dapat membahas maknanya

H. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN :


No.Kegiatan Belajar Nilai budaya dan karakter bangsa
1.Kegiatan Awal :
 - Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran hari ini.
 - Guru mendeskripsikan berbagai pengalaman.
Bersahabat/ komunikatif
2.Kegiatan Inti :
   Eksplorasi
  • Dalam kegiatan eksplorasi : 
  •  Secara bergiliran siswa mencari artikel, atau buku yang berhubungan dengan lingkungan daerah masing-masing (misalnya, Folio, SARS, atau bencana alam yang terkait dengan daerah setempat)
  •  Membaca berita, artikel atau buku. 
  •  Mengidentifikasi masalah dalam artikel 
 Elaborasi
  • Dalam kegiatan elaborasi, 
  •  Mendiskusikan masalah ,Melaporkan hasil diskusi, Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi,
  •  Siswa:  Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
Tanggung jawab
3.Kegiatan Akhir :
 - Refleksi
- Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini
Bersahabat/ komunikatif

I. ALOKASI WAKTU :
4  x 40 menit

J. SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN :
• Buku cerita lucu/ kaset cerita
• Pengalaman langsung
• Bukupendamping :Syamsuddin A.R. Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia Kelas X. Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2006.

K. PENILAIAN :
Jenis Tagihan:
  •  Tugas individu
  •  Ulangan
Bentuk Instrumen:
  •  Uraian bebas
  •  Pilihan ganda
  • Jawaban singkat

Mengetahui, 2011
Kepala Sekolah                                                                                           Guru Mata Pelajaran

NIP.                                                                                                             NIP.

SYAIR DALAM KEHIDUPAN DARI AYAHKU


Cerpen Rudi Al-Farisi

Seiring waktu, Diumurnya yang hampir masuk 25 tahun, langkah kehidupan Aldo perlahan berubah, hari hari yang ia lalui terasa amat pahit. Dulu hidupnya serba ada, mau apa tinggal beli, kepingin ini itu tinggal minta uang sama ibunya. Maklum saja, Aldo anak semata wayang. Sekarang, roda kehidupannya berubah drastis, terbalik diputar tingkah laku ayahnya yang melakukan sabotase proyek.

Dulunya, ayah Aldo adalah seorang yang sangat tegas. Dengan memegang prinsip islami, hidup mereka dipenuhi suasana agamis. Tetapi semenjak perusahaan milik ayahnya dipercayakan menangani proyek besar tahun itu. Iman ayahnya mulai goyah. Ayah Aldo sering kali menyabotase urusan proyek demi meraup keuntungan lebih. Dan naas, akhirnya ketahuan.

Semenjak ayah Aldo di penjara, perusahaan mereka pun ikut bangkrut. Ironisnya Aldo tidak pernah sekali pun menjenguk ayahnya dipenjara. Aldo belum bisa menerima kenyataan. Semua cerita kejadian ini ia dengar dari ibunya, karena dari kecil, ia tidak mau tahu dari mana datangnya semua kemewahan itu. Dan yang ia dengar dari ibunya, ayahnya dihukum enam bulan penjara. Semenjak itulah Aldo yang menjadi tulang punggung keluarga.

Singkat cerita, Mulai saat itu, Aldo dan ibunya saling bahu membahu dalam memenuhi kebutuhan hidup. sebab, harta mereka semuanya ludes disita dan mereka terpaksa pindah kerumah sewa yang kecil dan sangat sederhana. Aldo bekerja semrautan. Ibunya terpaksa bekerja jadi pembantu dirumah teman ayahnya. Dan demi membiayai skripsi kuliahnya. Aldo terpaksa harus bekerja tambahan di kafe temannya.

Hari demi hari pun berlalu, kuliahnya pun telah selesai. Dan Sifat manja Aldo pun perlahan mulai berubah.

Suatu ketika, Saat itu Aldo baru pulang kerja dari kafe.  Ia lihat jam ditangannya, sudah jam sepuluh malam, “ibu kok belum pulang ya.” suara batinnya.

Tiba-tiba. “Tok.tok..tok..“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam..” jawab Aldo.

Ia lihat, ternyata ibunya. Ibunya pun tersenyum, tapi senyum manis ibunya itu, tidak bisa menghilangkan guratan kelelahan yang tampak di wajahnya.
“Bu.. Aldo mau ngomong, tapi biar Aldo buatkan teh hangat dulu ya..
“Mau bicarakan apa Do, kok kayaknya penting banget..” jawab ibunya santai.
“Bigini bu, Aldo kan sudah lulus kuliah. Rencananya besok Aldo mau cari kerja tambahan. Agar ibu tidak usah lagi bekerja jadi pembantu. Biar Aldo saja yang kerja. ibu istirahat aja dirumah ya..” jelas ku pada ibu.

Ia tatap wajah ibunya. Ada guratan haru yang tampak dari kedua mata ibunya yang berkaca-kaca.
“Alhamdulillah… ternyata anak ibu sudah berubah. Tapi Aldo mau kerja apa.?
“Terserahlah bu.. apa yang diberikan Allah nantinya. Yang penting kita usaha dulu.. Soalnya, Aldo tidak tahan melihat ibu pagi-pagi buta sudah pergi dan malamnya baru pulang.. jawabnya.

Ia lihat mata ibunya. Ternyata air mata ibunya tak terbendung lagi. Tiba-tiba ibunya memeluk Aldo..
“Do… kalau ayahmu tahu, ia pasti bangga denganmu..”
“Sudahlah bu… Aldo kan udah besar. Biar Aldo yang gantikan tugas ayah.”

Ibunya menatap dalam wajah anaknya itu. Tangannya yang lembut memegang kedua pipi Aldo dengan hanyut terbawa haru.

Keesokan harinya. Dia berangkat dengan restu ibunya. Ia langkahkan kedua kakinya dengan semangat. Saat jumpa suatu perusahaan. Ia langsung masuki dan mencoba melamar kerja. Tapi gayung belum bersambut. Ia ditolak. Dan begitu juga selanjutnya. Ia terus mencoba tapi tetap dengan jawaban yang sama.

Tak terasa, hari pun berganti semakin terik. Keringat ditubuhnya hampir-hampir membasahi pakaiannya. Saat ia duduk dihalte bis untuk istirahat sejenak, terdengar dari kejauhan suara azan zhuhur berkumandang ditengah hiruk pikuk kota.

Akhirnya ia putuskan untuk menghadap sang ilahi dahulu sebelum melanjutkan usahanya lagi. Usai sholat, ia bersimpuh dan bermunajat kepada sang Ilahi. Lalu ia kembali menyusuri satu persatu perusahaan yang ada. Tapi tetap dengan jawaban yang sama pula yakni tidak menerima lowongan.
“Rasanya sudah dua belas perusahaan yang aku masuki, tapi tak ada satu pun yang menerima lowongan. “Ya. Rabb.. Bantu aku ya rabb…” rintih batinnya.

Saat melintasi gedung bertingkat yang lebih dari sepuluh lantai. Ia melihat tulisan “Kencana Group” Sebenarnya ia sudah hampir menyerah, dan berniat hendak pulang kerumah. Tetapi batinnya menolak. Dan akhirnya ia putuskan untuk mencoba memasuki gedung itu dan melamar.
“Permisi Mbak… mau nanya, ruang personalianya dimana ya… tanya Aldo kepada gadis yang sibuk bersih-bersihkan kaca gedung itu.

Saat gadis itu membalikkan tubuhnya dan menatap kepada Aldo. Tiba-tiba hati Aldo bergetar dan matanya pun tak berkedip memandangnya. “Sungguh mempesona..” Desah batinnya.
“Oh maaf.. mas masuk aja… Ntar tanya aja ke resepsionisnya.. Maaf ya mas, saya lagi sibuk.
“Oh tak apa.. makasih ya..” jawabnya dengan hati berbunga. “Sungguh halus budinya.” Desah batinnya lagi.

Sambil masih menatap gadis itu. Aldo pun masuk. Sesampainya di resepsionis. ia kembali teringat dengan gadis yang didepan tadi. Jiwanya hanyut dibawa aroma pandangan pertama.
“Maaf mas, ada yang bisa kami bantu.” tanya petugas membuyarkan lamunannya.
“Oh Maaf pak.. begini pak, saya mau ngajukan lamaran kerja pak.. apakah masih ada lowongan pak.. tanyanya sambil menyodorkan map yang ia pegang.”
“Oh maaf mas… disini lagi tidak menerima lowongan. Maaf mas ya…”
“Tapi pak… kerja apa saja saya mau kok pak..”
“Iya mas… tapi disini semuanya lagi penuh.. maaf ya mas..”
“Iyalah... terima kasih pak.. permisi..” jawabnya kecewa.

Hatinya kembali hancur.. dadanya pun sudah berulang kali sesak menahan sabar satu hari itu. rasanya ia ingin pulang saja, ingin rasanya ia curhat pada ibunya. saat ia hendak melangkahkan kaki keluar. Tiba-tiba ada suara yang memanggilnya.
“Mas..mas..” Rupanya bapak yang tadi. Bapak itu mengatakan aku bisa bekerja di perusahaan itu. tapi hanya bisa menjadi petugas cleaning servis. Karena ada satu orang petugas cleaning servis yang mengundurkan diri hari itu, katanya.
“Bagaimana mas… mau..?” tanya bapak itu.
“Iyalah.. saya mau.. yang penting halal pak..”

Aku pun bergegas pulang. Aku langsung cerita pada ibu. Saat kubilang jadi cleaning servis, mata ibu agak berkaca-kaca.

Tiba-tiba ibunya bertanya. Dan ada guratan kegelisahan yang tampak dari wajah ibunya itu.
“Dimana Aldo akan kerja nak…?
“Di perusahaan Kencana Group bu..” Jawabnya.
“Kencana Group…? ucap ibunya heran.
“Iya bu.. yang dijalan Yos Sudarso itu bu..

Sepertinya ada hal yang dirahasiakan ibunya. wajah ibunya langsung terlihat bingung. Sikap ibunya pun agak salah tingkah.
“Kenapa bu..” tanya Aldo.
“Oh.. tak apa Do.. tak ada apa-apa kok.” Baguslah.. Jawab ibunya terbata-bata..

Singkat cerita, Aldo pun bekerja menjadi cleaning servis. Ia lalui hari demi hari dengan sangat sibuk. Dari pagi hingga sore ia kerja jadi cleaning servis dan bila badannya fit, malamnya ia kerja dikafe temannya untuk cari tambahan.

Ditempat kerja, akhirnya ia bisa kenalan dengan gadis yang memikat hatinya saat melamar dulu. Karena satu profesi, ia pun saling dekat dan mengenal akrab dengannya. Nama gadis itu Dina. Lama kelamaan, rasa cinta dihatinya semakin tumbuh bersemi,  tetapi rasa itu ia pendam dulu untuk sementara. Karena ia rasa, ia belum mampu untuk berhubungan dengan wanita dengan kondisi pekerjaan seperti itu.

Suatu ketika, saat sedang asyik mengepel keramik di depan resepsionis, ia dikejutkan dengan kehadiran sosok wanita setengah baya. Yang baru masuk dari pintu kaca kantor.

Ia melihat ibunya, tapi ia heran dengan dandanan ibunya. Ibunya terlihat rapi. Sama seperti gaya ibunya saat hidup mereka jaya dulu. Wajah ibunya pun semakin terlihat cantik dengan gaun seperti itu. Ia bingung, ada hal apa ibunya datang ketempat kerjanya dengan dandanan seperti itu.

Saat berpapasan wajah. Ibunya berhenti dan terlihat gugup. Tapi tingkahnya tetap tenang. Kami berdua berdiri agak lama dan saling menatap.
“Ibu…?” Ibu kan..” sapanya heran.

Tiba-tiba pengawas kantor datang memarahinya dan menyuruh Aldo tidak berlaku lancang. Dan memerintahkan Aldo untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Maaf bu… ini petugas baru.. ia belum kenal.” jelas pengawas pada ibunya.
“Pak.. bapak kenal dengan ibu saya..? tanyanya bingung.
“Tak apa pak.. biarkan kami berdua.” Jawab ibunya.

Aldo bingung. kok bisa pengawas kenal dengan ibunya. Sepertinya ada hal yang ia tak mengerti. Ada sesuatu yang jauh dari jangkauan pikirannya.

Belum ada kata yang keluar bibir ibunya. Tiba-tiba ibunya mengambil hp dari tas cantiknya. Dan menelpon dengan seseorang. Ia bertambah bingung melihat ibunya mempunyai hp.
“Yah..! Ibu di bawah.. Ibu lagi sama Aldo nih. Kita selesaikan saja ya pa..” ucap ibunya di ponsel.

Kepala Aldo menggunung dengan kebingungan.
“Ayah…? dan apa yang diselesaikan..?“ suara bingung hatinya.

Aldo bertambah kaget melihat semua karyawan berkumpul dan menatap sosok lelaki setengah baya yang baru keluar dari lift.
“Ayaaaah……?” Aldo kaget.
“Ia anakku.. ini ayah.” sambut ayahnya.
“Loh kok..” suara Aldo terhenti saat ayahnya memeluk dengan haru.
“Aldo anakku.. Ayah rindu padamu. Maafkan ayah ya… Ayah dan ibu terpaksa melakukan semua rekayasa ini.” Ini semua demi masa depanmu. Dan demi masa depan perusahaan ini, juga demi masa depan semua karyawan yang ada disini.” Jelas ayahnya tenang.

Ia coba menebak apa yang terjadi. Ia lepaskan pelukan ayahnya dan ditatapnya wajah ayah dan ibunya. Ibunya hanya mengangguk dan tersenyum bangga. Ia lihat semua mata yang ada disitu tertuju pada mereka. Termasuk Dina gadis pujaan hatinya.
“Ada apa ini yah… bu..? tanyanya heran bercampur haru.
“Nanti ayah jelaskan semuanya. Yang jelas ayah lihat, Aldo sekarang sudah jauh berbeda dengan Aldo yang dulu. Ayah bangga padamu. Kamulah satu-satunya harapan ayah untuk meneruskan perusahaan ini. Dan inilah cara ayah dan ibu untuk menciptakan rasa tanggung jawabmu dan juga merubah sifat manjamu.” Jelas ayahnya sambil memeluk Aldo kembali dengan erat.

Akhirnya Aldo pun mengerti dengan semua ini. Yang ia rasakan saat itu cuma perasaan bahagia yang meluap. Ia pun bergegas bersujud syukur pada sang ilahi… ALLAHU AKBAR….


CINTA LAKI-LAKI BIASA


Cerpen Asma Nadia  
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***

Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat.

KETIKA TAKDIR MENGUJI CINTA


Cerpen Rudi Al-Farisi
DUBRAK…” banting pintu kamar kost nya.
Hari yang melelahkan..” getar bibirnya pelan.

Sejurus ia langsung nyalakan AC kamarnya. ia campakkan tas kerjanya, ia rebahkan badannya..Wusss… angin sejuk langsung menampar tubuhnya. Ia lihat jam di dinding, masih jam empat, masih ada satu jam lagi. Ucapnya pelan.

Ia baringkan badannya dikasur, ia hendak istirahat sejenak sebelum berangkat kuliah, rencana hatinya. Karena baginya waktu sangat bermanfaat dalam hidupnya, aktivitasnya cukup sibuk, pagi ia bekerja, sore hari ia kuliah. Ia bekerja di sebuah perusahaan cukup besar di kota dumai itu, penghasilannya lebih dari cukup, maka dari itu, untuk sekolah adiknya, ia yang mengambil alih.
            Ti dit…ti dit…
            Tidurnya terganggu dengan dering HP nya.
Ada sms masuk, ucap batinnya. Ia baca’”
        
   Ass.. mas Irul.. sebelumnya aku
   Mohon maaf beribu maaf mas..
            Dalam keputus asaanku. Aku ingin
            Mengabarkan bahwa aku akan
            Menikah esok hari.
            Allah mentakdirkan lain.
            Doakan aku ya mas…

 Spontan ia kaget, ia bingung, ada apa yang terjadi dengan Luna. Tanya batinnya. Luna adalah pacarnya, cinta yang ia jalin hampir tiga tahun itu, tiba tiba hancur berkeping keping, tak tahu apa penyebabnya, padahal baru bulan kemaren ia mengunjungi Luna dan keluarganya. Semua berjalan lancar penuh dengan canda tawa.

Ia coba telpon, tenyata tidak aktif. Ia coba kembali, tetap masih nada yang sama. Ia bangkit dari kasurnya, semula jadwalnya hari itu hendak kuliah, sementara waktu ia batalkan dulu.

Hatinya masih risau dan bingung, sekejap mata ia langsung tancap gas menuju rumahnya Luna, dengan mengendarai sepeda motornya, ia melaju membelah jalan       dengan hatinya bertanya Tanya.

Ya Rabb… apa yang terjadi ya rabbi. Rintih hatinya bingung.
Di jalan, ia melaju dengan kecepatan tinggi, ia ingin tahu segera, gerangan apa yang terjadi dengan pacarnya. Baru bulan yang lalu ia merencanakan bersama keluarganya luna untuk melamar Luna setelah kuliahnya selesai, hanya tinggal menunggu skripsinya selesai saja baru ia akan wisud
Setelah sampai didepan rumah Luna, ia langsung memarkirkan sepeda motornya, jarak rumah luna cukup jauh dari tempat kostnya,            Tok…tok…tok… assalamu’alaikum. Sapanya sambil mengetuk pintu. Ia tunggu sejenak, belum ada jawaban, ia ulangi tok..tok..tok…assalamu’alaikum..
            Wa’alaikum salam, pintunya terbuka, ternyata ibunya Luna,
Sore bu.. maaf menggangu.. Lunanya ada bu… sapanya ramah.
            Eh… nak irul, silahkan masuk dulu nak...jawab ibunya luna sambil mempersilahkan masuk. Terima kasih bu…
            Ia tatap wajah ibunya luna, ada kegelisahan dan kesedihan yang mendalam tergambar dari raut wajahnya, mukanya terlihat pucat melihat irul yang datang. Hatinya semakin bingung.
            Luna nya ada bu…? Tanya penasaran..
Ibunya luna diam menunduk sesaat… Lu..luna pergi ke pekan baru bersama ayahnya nak irul. Emang nak irul tidak diberi tahu luna..? jawab ibunya dengan getar bibir terbata bata.
            Justru itu bu.. aku ingin menanyakan perihal apa yang terjadi dengan luna,,? Tiba tiba aku mendapat sms dari luna…? irul menjelaskan maksud kedatangannya.
            Tiba tiba mata ibunya luna berkaca kaca dan menunduk diam sesaat. Ada kepedihan dalam batinnya, suasana ruangan itu menjadi hening, hati irul semakin bingung bercampur gelisah,
            Bu… apa yang terjadi dengan luna bu..? Tanyanya memecah keheningan.
Ma…maafkan kami nak irul.. maafkan kami.. takdir Allah lah yang berkuasa. Jawab ibunya luna dengan terbata.
            Sebenarnya..apa yang terjadi bu..?
            Ba…baiklah.. ibu coba menjelaskan semua, kami telah menerima kuasa takdir Allah, se..sebenarnya yang terjadi adalah bermula saat luna seminar di pekan baru. Dua hari setelah nak irul datang bulan kemaren kesini. Luna minta izin mengikuti seminar itu. Kampusnya luna mengirim utusan dua orang untuk mengikuti seminar itu. Luna salah satunya, seminar IPTEK itu diadakan pemko pekan baru. Ia berangkat bersama Indra teman kampusnya, indra adalah anak ketua yayasan kampusnya luna, seminar itu berlangsung dua hari. Kampusnya luna memberikan fasilitas dua kamar hotel untuk menginap. Tiba tiba suara ibunya luna terhenti dan tangisnya semakin menjadi jadi.
            Dengan perasaan gelisah hati irul menebak nebak apa yang terjadi.
Tenang bu..” sabar bu..
            Tangis ibunya luna diam sesaat, ia coba menerima realita yang ada, lalu ia melanjutkan,
            Sepulangnya luna dari pekan, wajah luna tampak pucat, kami coba menanyakan ada apa dengannya. Ia tak mau cerita, tetapi kami coba merayu dan memaksanya. Dengan hati menjerit dan berlinang air mata, ia menjelaskan,, bahwa ia .. bahwa ia … Dijebak dan DIPERKOSA oleh indra. Tiba tiba tangis ibunya luna kembali meledak, air matanya mengalir deras, Ternyata…. indra telah lama menyukainya. ia mengetahui bahwa luna akan segera dilamar nak irul. Maka itu, dalam kesempatan adanya seminar itu, ia minta kepada

Hati irul pedih, langit seakan runtuh ia rasa. Matanya berkaca kaca, badannya kaku serasa lumpuh, bibirnya

Kami pihak keluarga telah sepakat untuk menikahkan luna dengan indra. Maafkan kami nak irul..maafkan kami….Ibunya luna mengakhiri penjelasannya.

Suasana jadi mencekam, hati irul seakan ingin meledak, wajahnya menunduk, ada yang menetes dari matanya. Ia tidak kuat untuk menahan perasaannya. Ia langsung pamit,,
Ass…assalamu’alaikum bu. Saya pamit, sampaikan salam tegarku buat luna.

Dalam perjalanan pulang bibirnya terus bertasbih, hatinya remuk, matanya terus mengalirkan sesuatu. Pernikahan yang ia rencanakan gagal, wisuda yang ia tunggu tunggu sebagai awal puncak kesuksesan masa depannya, terasa tak bermanfaat lagi. Luna adalah  gadis cantik dan jelita, pujaan hatinya itu telah terbang dibawa seekor elang yang rakus tak bermoral.

Sesampainya dikamar kostnya. Ia menangis sejadi jadinya.. ia meratap kepada tuhannya, ia mohon diberi kekuatan dan ketabahan, ia larut dalam kesedihan, tiba tiba suara adzan maghrib berkumandang ia dengar. Panggilan tuhan merasuk dalam batinnya.

Dengan berlinang air mata ia mencoba tegar menghadapi kuasa Allah itu. Ia wudhu’, ia bentangkan sejadahnya, ia bertakbir.

Usai sholat, ia munajat kepada rabbnya. Ia bertafakkur, ia roboh bersujud dihadapan takdir Allah. Ia utarakan kegundahan hatinya. Ia berharap diberikan cinta diatas cinta.

 Enam bulan telah berlalu, dengan hati yang tegar ia selesaikan kuliahnya. Kini ia akan meraih gelar S1 nya. Namun dari hari kehari bayangan luna masih saja hadir dalam benaknya. Tanpa kabar, tanpa pertemuan, dan tanpa penjelasan terakhir dari bibir luna. setelah hari yang pahit itu. Ia coba menata kembali masa depannya.

Di hari wisudanya itu. Sengaja ia panggil ibunya dari kampung untuk mendampinginya. Senyum ibunya itulah yang membuat ia cukup terhibur menghadapi hari yang ia tunggu tunggu dulu. Hari yang semula ia rencanakan untuk melamar luna. tapi keadaan berubah. Dengan bantuan Allahlah ia sanggup menghadapi semuanya.
Tiba tiba suasana Aula gedung itu bertasbih. Acara wisuda heboh dengan kedatangan sosok bidadari yang anggun jelita. Mata semua lelaki memandang kearahnya. Ia menoleh. Subhanallah…” batin nya bertasbih. Sosok itu adalah luna. wajahnya yang dibalut jubah dan jilbab putih itu seakan membuat ia seperti bidadari yang baru turun dari langit.

Hatinya berdesir, jantungnya berdegup kencang. Sama seperti rasa pertama kali ia berjumpa dengan luna dulu. Alangkah beruntung orang yang menikahinya..” Batinnya mengupat..

Astaghpirullah…ia sudah menikah,, aku haram memikirkannya. getar bibirnya menepis perasaannya,
Ibunya tersenyum melihat perubahan pada anaknya. Apa lagi rul..” kamu udah pantas menikah.. kerjaanmu sudah mapan, sarjana pun sudah ditangan, semua para ibu ibu ingin bermenantukan kamu. Canda ibunya, karena ibunya tidak tahu dengan apa yang terjadi, ia hanya balas dengan senyuman. Tunggu aja bu.. pilihan Allah. Jawabnya.
Ternyata luna menghampirinya .
Assalamu’alaikum..Selamat ya mas… aku datang bersama ibu ingin melihatmu. Sapa luna dengan senyuman malu.
Wa’alaiku salam… terima kasih..ibu mu mana dan ….
Dan.. apa mas…? potong luna. Seakan luna sudah mengetahui maksud nya.. Oh ya.. kedatanganku kali ini hanya untuk menyampaikan maafku saja kok mas…dan menjelaskan apa yang terjadi padaku selama ini. Sekaligus menebus ketidakberdayaanku mas. Lanjut luna dengan wajah menunduk dengan matanya menetes kan sesuatu.
Belum sempat bertanya lagi, irul diajak luna bicara empat mata. Luna hendak menjelaskan sesuatu hal yang penting seperti yang ia tunggu selama ini.
 Baik lah.. kita ke depan mushollah saja.
Dengan air mata yang terus jatuh, luna coba menenangkan diri.
Ia menjelaskan apa yang terjadi selama ini.

Mungkin mas… telah diberi tahu ibu kejadian yang menimpaku. Tetapi semua itu berubah, ternyata takdir Allah berubah lagi. aku terus berdo’a kepada Allah, agar diberi kekuatan untuk menjalani hidup.

Umur pernikahanku dengan lelaki itu hanya bertahan satu minggu, setelah acara pesta pernikahan kami di pekan baru usai, tanpa melalui malam pertama ia lebih memilih merayakan pesta kemenangannya bersama teman temannya, pada malam itu ia bersama komplotannya merayakan pesta narkoba, dan naas, malam itu juga ia over dosis dan dibawa kerumah sakit, 1 minggu ia koma tak sadarkan diri, lalu ia tewas, aku hanya melihat proses kuasa Allah itu dengan bersyukur, Allah maha tahu penderitaan hambanya. Maka dari itu mas… Allah sedang menguji diriku.. statusku sekarang janda mas.. jelas luna panjang lebar dengan hati tegar.
Jadi ..? Ucap irul ceplos sambil melihat kondisi Luna.

Oh ya… aku sekali lagi bersyukur kepada Allah, Setelah seminggu kematian brengsek itu, aku memeriksakan diri ke dokter. Ternyata kesucianku masih utuh. Brengsek itu hanya menjebakku agar ia punya alasan untuk menikahiku. Begitu lah kisah hidupku mas… Allah masih menyayangiku..

Mendengar semua penjelasan itu, hati irul berdesir, setetes embun masuk ke dalam batinnya. Ternyata ujian Allah telah berakhir. Ia bertakbir dalam hati. Ia hendak langsung melamar luna hari itu juga.

DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2011/11/cerpen-cinta-ketika-takdir-menguji.html#ixzz1xCnKO44w


Kisah Sebuah Pernikahan


Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya

saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan

justru rasa haru biru. Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada

satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu.

Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.

Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, "Jadi juga kau nikah sama

'buntelan karung hitam' itu ....?!?"

Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon

istriku disebut 'buntelan karung hitam'.

"Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam,

gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih

tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!" sambung ibu lagi.

"Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan

Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu...?" Kali ini aku terpaksa

menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung

mendengar ucapanku.

"Oh.... rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu.

baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan

seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan

itu ke rumah ini !!"

DEGG !!!!

"Yanto.... jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba," teguran

Ismail membuyarkan lamunanku.

Segera kuucapkan istighfar dalam hati.

"Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah ...akhi," sekali lagi

Ismail memberi semangat padaku.

"Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas

kawin seperangkat alat sholat tunai !" Alhamdulillah lancar juga aku

mengucapkan aqad nikah.

"Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien.

Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain."

Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama.

Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah

sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati

kuberanikan diri untuk menyapanya.

"Assalamu'alaikum .... permintaan hafalan Qur'annya mau di cek kapan

De'...?" tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan

dalam tunduknya. Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam

pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur'an

tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui. "Nanti saja

dalam qiyamullail," jawab istriku, masih dalam tunduknya. Wajahnya yang

berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat

dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku

suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah.

Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku 'tidak

menarik'. Sekelebat pikiran itu muncul ....dan segera aku mengusirnya.

Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.

"Bang, sudah saya katakan sejak awal ta'aruf, bahwa fisik saya seperti

ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal

beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak

untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam

malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya.

Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam

Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka," ...

Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ahsan). Kemudian

bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak

menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang

banyak."

(QS An-Nisa:19)

Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata

itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita

yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama

besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.

"Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan

kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan

menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas."

Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam

dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih

menyisakan segumpal ragu.

"Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh... saya

siap menerima keputusan apapun yang terburuk," ucapnya lagi.

"Tidak...De'.

Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah.

Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika

seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi," paparku sambil

menggenggam erat tangannya.

Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait

do'a kubentangkan pada Nya.

"Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan

cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang

cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi saksikanlah malam ini

akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu.

Karera itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam Jannah-Mu !"

Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap

raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku

benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita sholihah

sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya.

Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan senantiasa melaksanakan shoum

sunnah Rasul Nya. "...dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah

tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka

mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya

pada Allah ..." (QS. al-Baqarah:165)

=========================================

Ya Allah sesungguhnya aku ini lemah , maka kuatkanlah aku dan aku ini

hina maka muliakanlah aku

dan aku fakir maka kayakanlah aku wahai Dzat yang maha Pengasih
Posted by gdz at 11:37 PM

Jumat, 01 Juni 2012

Bidadari Surga

Dalam suatu rumah di sebuah perkomplekkan, terdapat sebuah rumah yang sangat megah dan mewah. Tak lain itu adalah rumah milik Pak Suryo. Ia merupakan seorang direktur dari salah satu perusahaan terkenal di Jakarta. Dan perusahaannyapun sudah dapat berpengaruh dalam perekonomiaan nasional. Pak Suryo memiliki seorang anak satu-satunya yaitu Silvi. Tentunya putrid yang satu ini selalu dimanja oleh anaknya. Maklum, ibunya sudah meninggal dunia. Berbagai kemauan Silvi selalu di turuti oleh ayahnya. Bahkan pembantunyapun sangat banyak.


Putri Pak Suryo yang bersekolah dalam masa SMA ini sangatlah manja dan sombong. Padahal Tuhan telah memberikan kecantikan kepadanya yang luar biasa. Bahkan seluruh pria yang ada disekolahnya terpukau dan terpesona melihat keindahan yang dimiliki oleh Silvi. Tapi sayang beribu sayang, dengan kesombongan Silvi disekolahnya, bahkan sampai sering menghina teman-teman yang tidak sedrajat dengannya membuat Silvi dimata orang lain berkepribadian sangat buruk. Seorang lelaki bernama Ricky adalah kekasih dari Silvi, ia adalah seorang lelaki yang tampan dan tajir.


Tapi bagi Fathir, seorang siswa kelas sebelas jurusan IPS Silvi adalah seorang wanita yang sangat ia idam-idamkan walaupun mustahil bagi dirinya untuk mendapatkan Silvi. Berbagai cara Fathir lakukan untuk mendapatkan Silvi, sampai-sampai ia pernah dihajar habis-habisan oleh Ricky dan teman-temannya. Suatu saat Silvi mendapatkan Ricky yang sedang berduaan dengan seorang wanita disekolah itu. Silvi sangat marah dan sakit hati karena itu, sambil ia menampar wajah Ricky dan menyudahi hubungannya. Sejak kejadiaan itu, Silvi tidak keluar kamar selama berhari-hari karena patah hati.


Akhirnya disinilah Fathir muncul, ia mendekati Silvi dan berbincang padanya jika bukan karena patah hati itu adalah kiamat bagi kita. Padahal dulu Fathir pernah disiram oleh air bakso dikantin oleh Silvi semasa dia menyatakan cinta kepadanya. Silvi menjadi penyendiri dan hancur. Apalagi selagi perusahaan ayahnya bangkrut total. Ia dan ayahnya tinggal di suatu kontrakan kecil di perkotaan. Silvi tidak mudah menerima ini semua. Ia sering marah-marah kepada ayahnya dan merekapun sering bertengkar.


Setiap hari Fathir selalu datang menemui Silvi untuk menemaninya dan terkadang memberikan ia makanan untuknya dan ayahanya. Disana Silvi menangis dan tertegun melihat kebaikan Fathir yang walau dalam keadaan apapun ia selalu setia padanya, bukan karena harta , da selalu memberikan nasihat padanya. Jika harta, kedudukan, kecantikan itu adalah titipan Tuhan yang harus kita syukuri dan terkadanga kita harus memberikan sebagian kebahagiaan itu kepada orang lain untuk memperindah hidup. Saat itulah Silvi menerima cinta yang sudah lama terpendam, dan sadar akan semuanya.


Ia menjadi berubah sangat drastis, menjadi pribadi yang baik dan selalu sabar setiap saat. Dan walaupun dengan kesederhanaan hidup itu sangatlah indah. Fathir sering makan bersama Silvi dan ayahnya hanya dengan makanan seadanya, tapi karena kesederhanaan itulah sesungguhnya kebahagian hidup didunia ini muncul. Dalam hati Fathir berkata jika dihadapannya dan disampingnnya telah diturunkan seorang bidadari yang diturunkan dari surga untuknya.

    “ Suatu kelebihan yang kita miliki, hendaknya digunakan dengan baik. Karena kelebihan yang kita punya belum tentu bisa menutupi kekurangan yang kita punya.”

Perampok

MENGGIGIL tubuh Rasti, berjalan cepat menerobos udara subuh. Berkali-kali ia mengeratkan jaket, berusaha mengusir dingin. Kabut masih mengeremang di udara, terkadang menghalang pandang mata Rasti yang sembab merah. Semalam Rasti hanya tidur beberapa jam. Beberapa jam yang sangat menggelisahkan. Pandu, anak laki-laki semata wayangnya sudah dua hari demam, tergolek di atas ranjang. Tapi bukan itu yang membuat Rasti gelisah. Bukan. Siang nanti ia bisa membawa Pandu ke dokter dan pasti sembuh. Rasti selalu percaya pada para dokter yang bisa memberi keajaiban, seperti malaikat.

Pandu masih tidur nyenyak sewaktu Rasti keluar rumah. Rasti sebenarnya bisa mengajak Pandu, menggendongnya di belakang dengan kain jarik. Mungkin Pandu akan tetap tidur nyenyak di gendongannya hingga ia kembali ke rumah. Menyiapkan makan pagi dan siang sedikit berangkat ke dokter. Tapi Rasti tak tega melihat dirinya tampak begitu hina, seperti pengemis, di depan Palwito, suaminya. Rasti tak tahu apa yang akan dikatakan Palwito jika pagi-pagi buta ia datang mengetuk pintu sambil menggendong Pandu. Bagaimana tatap mata Palwito. Perasaan Palwito. Ah…

Tapi rumah itu masih gelap. Tubuh Rasti kian menggigil. Kedua lututnya tiba-tiba gemetar. Rasti masih ingat, dulu ia pernah berjanji tak akan sudi menginjakkan kaki di rumah itu. Tapi nyatanya pagi ini ia harus datang. Pagi ini ia harus ketemu Palwito yang sudah enam hari tak pulang. Ya, pagi ini ia harus berjuang mati-matian menjaga perasaannya sendiri. Ah, apa yang sedang dilakukan Palwito di dalam rumah itu? Rasti tiba-tiba merasa batinnya perih. Rumah di depannya jauh lebih bagus dari rumah yang sudah hampir sepuluh tahun ia tempati. Warna catnya masih baru. Juga kursi ukir di teras. Pot-pot bunga. Lampu hias.

Sekali lagi mengeratkan jaket, dengan lutut gemetar Rasti melangkah pelan. Rasti tak ingin membuang waktu sia-sia. Halaman rumah itu kurang begitu nyaman untuk berdiri menegakkan tubuhnya yang menggigil gemetar. Ia harus segera ketemu Palwito. Ya, hanya Palwito. Bukan yang lain. Rasti terus melangkah pelan, hati-hati, takut menginjak ranting kering dan menimbulkan bunyi. Rasti tak ingin membangunkan orang lain di pagi buta kecuali Palwito, suaminya!

Rasti kini telah berdiri di depan pintu. Sebentar lagi ia akan mengetuk pintu. Sebentar lagi ia akan ketemu Palwito yang muncul dari balik pintu. Sebentar lagi ia akan bertatap muka dan bicara dengan Palwito. Rasti sudah menyiapkan kata-kata yang akan ia muntahkan dari mulutnya. Tentu Palwito hanya mengenakan sarung dan kaus oblong kusam, lubang-lubang. Atau celana pendek butut dan telanjang dada. Rambutnya kusut acak-acakan. Rasti tahu kebiasaan Palwito yang tak pernah berubah dari dulu.

Tapi, ah, benarkah kebiasaan buruk itu masih berlangsung di sini? Masih adakah kaus kusam dan celana pendek butut? Bagaimana jika tiba-tiba Palwito muncul dengan piyama halus dan wangi? Rambutnya disisir rapi? Bukankah….

Rasti tersentak. Pikiran semacam itu tak pernah muncul dalam otaknya. Tak juga semalam ketika gelisah tak bisa tidur. Sesaat Rasti memperhatikan tubuhnya dari atas hingga bawah. Ia hanya mengenakan daster dirangkap jaket kulit dan sandal jepit usang melekat di kedua kakinya yang kotor lumpur lantaran jalan becek sisa hujan kemarin siang. Rasti kemudian meraba-raba rambutnya. Ah, ia terburu-buru hingga lupa tak sempat sisiran. Rambutnya hanya ia ikat dengan tali karet yang tanpa sengaja ia temukan di dapur. Sedang wajahnya? Lagi-lagi Rasti lupa sekadar cuci muka. Rasti mencoba melihat wajahnya di kaca depannya lewat bayangan lampu hias di teras. Tapi kaca itu terlalu gelap.

Mendadak Rasti gamang. Ragu. Bayangan Palwito mengenakan piyama halus, wangi, rambutnya disisir rapi, tiba-tiba terus berkelebat-kelebat dalam benaknya. Rasti memang belum pernah melihat Palwito mengenakan piyama, tapi bayangan itu tampak begitu nyata. Rasti memukul-mukul kepalanya mencoba mengusir bayangan itu, tapi ia justru mendapati kaca di depannya tiba-tiba berubah seperti layar televisi menampilkan gambar Palwito mengenakan piyama halus, wajahnya bersih, turun dari ranjang empuk menghampiri pintu. Langkah Palwito tegas di atas lantai marmer mengkilat. Tubuhnya menebarkan wangi.

Masih berdiri di depan pintu, Rasti urung mengetuk pintu. Bayangan itu begitu menganggu. Rasti tak mau ketemu Palwito mengenakan piyama, rambutnya disisir rapi. Tak mau ketemu Palwito tubuhnya menebar wangi. Ia hanya mau ketemu Palwito dengan sarung dan kaus oblong butut, lubang-lubang. Palwito dengan celana pendek kusam dan telanjang dada. Palwito dengan rambut acak-acakan. Palwito dengan wajah kusut. Palwito dengan keringat bau jengkol…

***

RASTI melangkah cepat. Ia harus segera sampai rumah sebelum Pandu bangun. Sebelum bocah laki-laki itu menangis keras. Sepanjang jalan pulang Rasti geram, terus merutuki kebodohannya tak berani mengetuk pintu rumah Palwito. Seandainya ia berani mengetuk pintu dan ketemu Palwito, tentu kini ia pulang dengan tenang. Tapi Rasti sadar, ia sendiri yang membuat kesalahan. Ia terlalu buru-buru hingga lupa berdandan. Diam-diam ia takut terlihat buruk di depan Palwito. Ah…

Rasti mendapati Pandu sudah bangun, tapi tak menangis. Mata bocah laki-laki itu sayu menatap ibunya yang baru datang. Rasti tersenyum sebelum beringsut ke dapur menyiapkan sarapan pagi. Siang sedikit ia mesti membawa Pandu ke dokter. Rasti selalu percaya pada dokter yang bisa memberi keajaiban, seperti malaikat. Tapi, ah, tiba-tiba Rasti merasa enggan membawa Pandu ke dokter sebelum ketemu Palwito. Ya, ya, ia mesti ketemu Palwito terlebih dulu untuk minta uang. Tapi benarkah? Rasti tiba-tiba termangu. Beku.

Rasti ingat, uang yang ia simpan di bawah tumpukan pakaian di lemari lebih dari cukup untuk membawa Pandu ke dokter. Tapi, entahlah, Rasti merasa perlu minta uang lagi pada Palwito. Merasa perlu memberi tahu Palwito bahwa Pandu sakit. Merasa perlu mengingatkan Palwito bahwa sudah enam hari tak pulang!

Sementara Rasti sibuk di dapur, di kamarnya Pandu terus merintih. Wajahnya pucat, matanya berkedip-kedip kian sayu…

***

UDARA subuh selalu dingin. Membuat Rasti menggigil. Apalagi kali ini Rasti tak pakai jaket. Rasti telah mengganti daster dan jaketnya dengan celana jeans dan kaos ketat, membuatnya tampak lebih seksi. Baru tadi siang ia membeli celana jeans dan kaos ketat itu. Ia tak ingin terlihat jelek di depan Palwito. Sudah tujuh hari Palwito tak pulang. Ah…

Pandu masih tidur ketika Rasti keluar. Bocah laki-laki itu belum menunjukkan gejala sembuh. Bahkan demamnya semakin tinggi, suka mengigau tengah malam. Rasti belum sempat membawa ke dokter. Mungkin nanti siang setelah ketemu Palwito. Setelah Palwito tahu Pandu sakit. Setelah Palwito merasa bersalah tak pulang selama tujuh hari. Setelah Palwito merasa berdosa membiarkan Pandu sakit. Setelah, ya, ya, setelah Palwito terkagum-kagum melihat penampilannya!

Tapi rumah itu gelap. Lutut Rasti tiba-tiba kembali gemetar. Matanya nanar. Ada beberapa pot bunga baru di teras rumah. Dua cangkir di atas meja. Asbak. Putung rokok. Dan…. Rasti melangkah pelan menghampiri teras. Rasti tak sabar ingin segera mengetuk pintu. Tak sabar ingin cepat-cepat menyampaikan kabar Pandu pada Palwito. Rasti ingin melihat wajah Palwito pucat mendengar Pandu sakit.

Rasti mengangkat tangannya siap mengetuk pintu. Tapi tiba-tiba urung. Samar, kaca di depannya memantulkan wajahnya yang berkeringat. Cepat-cepat Rasti menyeka keringat di wajahnya dengan kedua telapak tangan. Memperhatikan lebih seksama lagi dandanannya. Merapikan kaus dan ikatan rambut. Mematut. Tersenyum. Rasti menarik napas dalam-dalam, kembali siap mengetuk pintu. Sebentar lagi ia akan ketemu Palwito. Sebentar lagi ia akan melihat wajah Palwito pucat mendengar kabar Pandu sakit.

Tapi, ah, lagi-lagi Rasti urung mengetuk pintu. Ia ingat, pagi-pagi seperti ini tidur Palwito justru semakin nyenyak, mendengkur. Gedoran pintu pun belum tentu bisa membangunkannya. Bagaimana jika yang membuka pintu bukan Palwito, tapi Arum? Ya, ya, Rasti ingat, perempuan itu bernama Arum. Istri muda Palwito! Arum telah merampok Palwito dari sisinya. Ingat nama perempuan itu, Rasti merasa tubuhnya goyah seperti ada gempa. Ia pernah berjanji tak sudi ketemu dengan perempuan itu. Ah…

Masih berdiri di depan pintu, Rasti kembali berkeringat. Wajahnya pucat. Sesaat lamanya Rasti mematung, bingung tak tahu harus berbuat apa. Tapi sejurus kemudian ia segera memutuskan pergi meninggalkan rumah itu sebelum seseorang di dalam rumah bangun keluar membuka pintu. Jelas orang itu bukan Palwito karena pagi-pagi seperti ini tidur Palwito justru semakin nyenyak, mendengkur. Bukan Palwito karena pintu digedor pun belum tentu membuat dia bangun.

***

CAHAYA matahari pagi menerpa wajah Rasti membuat matanya berkedip-kedip, silau. Tapi Rasti terus melangkah cepat bersaing dengan anak-anak berangkat sekolah. Ia harus segera sampai rumah sebelum Pandu bangun. Sebelum bocah laki-laki itu menangis keras karena ditinggal sendirian. Mungkin siang nanti ia akan membawa Pandu ke dokter. Rasti percaya pada dokter yang selalu bisa memberi keajaiban, seperti malaikat. Pandu pasti sembuh.

Sepanjang jalan pulang Rasti terus merutuki nasibnya yang sial tak bisa ketemu Palwito. Sudah tujuh hari Palwito tak pulang. Ia merasa sia-sia telah membeli celana jeans dan kaos baru. Sia-sia semalaman tak bisa tidur. Sia-sia berdandan rapi. Sia-sia berjalan dua kilometer lebih pulang pergi. Sia-sia…

Tiba-tiba Rasti menghentikan langkahnya. Berdiri tegak menggosok-gosok mata memastikan penglihatannya tak terganggu. Tampak di rumahnya tetangga kanan kiri sibuk, hilir mudik. Rasti kaget merasa tak pernah mengundang orang-orang itu datang ke rumahnya. Ada apa? Apakah ada perampok masuk? Rasti kembali melanjutkan langkahnya. Kali ini pelan dan gemetar. Jantungnya sedikit berdebar.

Tapi, ah, Rasti segera ingat, ia merasa tak punya barang berharga di rumahnya yang bisa mengundang kawanan perampok. Rumah-rumah lain jauh lebih pantas. Rasti kembali melangkah cepat. Sesekali kakinya terantuk batu. Rasti yakin tak ada perampok yang masuk rumahnya. Ia tak punya barang berharga di rumah. Ya, ia hanya punya Pandu. Hanya Pandu…

Mimpi Terindah Sebelum Mata

Mimpi Terindah Sebelum Mati

Cerpen Maya Wulan

RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.

Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.

NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.

Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?

Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.

"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."

Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.

Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.

Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.

Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.

Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"

"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."

"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"

Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.

"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.

"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"

Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.

AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.

Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.

Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?

Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.

Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.

Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***

Primadona


Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.

Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.

Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.

Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.

Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.

Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.

Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."

Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.

Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.

"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"

"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."

"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."

Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.

Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.

Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.

Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.

Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.

Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.

Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.

Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.

Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.

Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.

Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.

Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.

Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"

"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.

Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.

Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.

Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!

Bingkai

UNDANGAN dari Susan kuterima di kantor menjelang pukul tiga, ketika aku keluar dari ruang rapat. Rencana menyeduh kopi untuk mengusir kantuk segera terlupakan. Perhatianku tersita pada amplop yang didesain sangat bagus.

Saat kubuka sampul plastiknya, telepon di mejaku berdering. Aku mengangkat telepon tanpa menghentikan upayaku mengeluarkan art-carton yang dicetak dengan spot ultra violet pada tulisan "Bingkai".

"Selamat siang dengan Dudi, Auto Suryatama," sambutku automatically.
"Ahai, tumben kamu ada di tempat!" Seru suara dari seberang.

"Maaf, siapakah ini?"
"Susan! Kamu lupa suaraku? Padahal baru dua bulan yang lalu kita bertemu. Tak hanya bertemu, karena sepanjang dua malam kita bersama-sama." Ada nada gemas yang merasuk ke telingaku. "Sorry, aku telepon ke kantor. Hp-mu tidak aktif."

"Astaga!" Aku tertawa dan meminta maaf. Bukan tidak aktif, lebih tepat: nomornya berbeda. "Aku baru saja menerima sebuah undangan, jadi konsentrasiku bercabang. Tampaknya ini undangan darimu! Jadi rupanya kamu serius dengan rencana itu?"

"Tentu! Kenapa tidak? Kamu pasti ingat cita-citaku sejak SMA. Sudah sejak lama aku bermimpi bisa tinggal di Ubud. Tapi tidak mungkin aku terus-terusan berlibur membuang uang di sana. Jadi kuputuskan untuk mendapatkan kepuasan batin sekaligus finansial…"

"Aku harus bertepuk tangan untuk kegigihanmu. Hebat!"
"Ini juga karena ada bara cinta yang terus-menerus membakar."

Aku terkesiap mendengarnya.
"Cintamu, Dudi!" sambung Susan.

Entahlah: seharusnya aku melonjak gembira atau terkesiap waspada mendengar ucapannya yang demikian mantap? Tentu agak mengherankan jika seorang gadis Solo memekikkan kata itu, bukan membisikkan, yang mudah-mudahan tidak sedang antre di depan kasir supermarket.

"Dudi, kenapa kamu diam saja?"
"Oh, sorry! Sebenarnya aku mau melonjak-lonjak, tapi tentu salah tempat. Di depan mejaku sudah ada yang menunggu, mau membicarakan pekerjaan…"
"Oke, Sayang. Aku akan meneleponmu lagi nanti. After office hour, ya!"

Gagang telepon masih di telinga, menunggu Susan memutuskan hubungan. Bahkan setelah hubungan telepon terputus, seperti masih kudengar nada gembira Susan di telinga. Rembes ke dalam hati. Aku menghela napas seperti keluar dari ruang yang pengap, dan kusandarkan punggungku ke kursi yang lentur. Tak ada siapa-siapa di depanku. Jadi, aku tadi berdusta. Maafkan aku, Susan. Ternyata aku telah banyak berdusta. Tapi, percayalah, kasih sayangku kepadamu begitu jujur.
***
SEINGATKU tadi Lanfang minta dibawakan kue, karena malam ini sepupunya akan datang. Sambil meluncur pulang aku merencanakan singgah di sebuah bakery. Ada toko kue langganan sebenarnya, tapi di tengah perjalanan aku terpikat pada kerumunan yang mengundang selera untuk mampir. Selintas kulihat, di kiri dan kanan tempat ramai itu juga ada kafe dan kedai roti. Jadi tak terlampau salah jika aku sejenak berhenti dan mencari tempat parkir. Untung Swift yang kukendarai bukan tipe mobil besar, sehingga mudah mendapatkan tempat.

Rupanya sedang berlangsung seremoni pembukaan sebuah galeri, yang ditandai dengan pameran karya para pelukis muda Surabaya. Kulihat sepintas, ada Joko Pekik di ruang benderang itu: ikut berpameran atau hanya diminta pidato? Entahlah! Yang terbayang olehku adalah peristiwa serupa, yang akan berlangsung minggu depan di Ubud. Dan di tengah lingkaran para tamu, kuangankan si anggun Susan, dengan rambut dibiarkan terurai, bak burung merak yang tersenyum lebar memperkenalkan galerinya. Apa namanya tadi? Bingkai!

Aku turun dari mobil, melenggang masuk dalam kerumunan. Siapa pemilik galeri ini? Kalau Lanfang tahu, tentu ingin juga "cuci mata" di sini, apalagi dia sedang keranjingan mengapresiasi seni lukis, gara-gara pernah diminta oleh majalah untuk menulis liputan pameran di Balai Pemuda. Waktu itu dia mengeluh, karena tak tahu harus mulai dari mana untuk menilai lukisan.

"Aku iki isane nulis cerpen, lha kok dikongkon gawe resensi lukisan, yok opo sih?!" Ya. Aku ini bisanya cuma menulis cerpen, kenapa disuruh membuat apresiasi lukisan, bagaimana sih?!

Aku nyaris terpingkal melihat dia mencak-mencak. Tapi rasa ingin tahu dan semangat belajarnya cukup tinggi, sehingga waktu itu, selang sehari dia bisa bertemu dengan beberapa pelukis. Bahkan hari berikutnya dia berhasil membuat janji dengan seorang kurator untuk berbincang-bincang. Seharusnya kini ia berterima kasih kepada majalah wanita di Jakarta yang pernah memintanya untuk melakukan itu. Karena sekarang pikirannya lebih sensitif terhadap seni lukis dan grafis.

Sepuluh menit kuhabiskan waktu di galeri yang berinterior minimalis. Meskipun tampaknya tidak perlu menunjukkan undangan, tapi aku tentu bukan tamu yang dimaksud. Selanjutnya aku masuk ke kedai roti di sisi kanan, dan memenuhi pesanan Lanfang.

Sepanjang sisa jalan pulang, yang kupikirkan adalah cara pergi ke Bali. Meskipun Surabaya tak terlampau jauh dari Bali, rencana ke sana di luar tugas kantor tentu akan memancing keinginan Lanfang untuk ikut. Itu tak boleh terjadi! Tidak mungkin mempertemukan dua perempuan yang kusayang itu dalam satu ruang dan waktu. Bukan khawatir akan menjadi gagasan buruk sebuah novel bagi Lanfang, tetapi pasti menyebabkan tiupan badai yang kemudian merubuhkan perkawinan.

Jadi, mesti ada perjalanan dinas ke Bali! Barangkali, agar tidak terlampau mencurigakan, isu itu harus kuembuskan ke telinga Lanfang sejak dini. Nanti malam, sebelum bercinta. Dengan demikian, tidak terkesan sebagai kepergian mendadak. Tapi… astaga, bukankah benak perempuan sering dihuni oleh akal yang fantastik? Bisa jadi, karena waktunya masih lama, Lanfang membongkar tabungan dan berinisiatif untuk ikut. Dengan cara itu, biaya penginapannya gratis, bukan?

Keringat mengembun di keningku. Tiba-tiba pendingin udara dalam mobil terasa tak sesejuk biasanya. Mungkin sebaiknya kusampaikan sehari menjelang keberangkatan. Sambil pura-pura mengeluh: kenapa perusahaan tidak pernah mempertimbangkan karyawan, seenaknya saja menugaskan keluar kota tanpa perencanaan yang matang. Aha, aku tersenyum membayangkan reaksi Lanfang, yang akan menghibur dengan: "Ya sudahlah, namanya juga tugas. Tentu ada hal yang bersifat urgent di sana." Seraya mengelus pipiku. Dan aku akan memeluknya dengan manja seperti bayi.

Tapi tarikan pipiku berubah. Senyumku beralih rasa cemas. Bagaimana jika Lanfang justru menyikapi dengan kalimat seperti ini: "Ya sudah, biar tidak suntuk di sana, aku ikut menemani. Malamnya kan bisa jalan-jalan ke kafe di Legian atau Kuta."

Belokan terakhir menjelang tiba di rumah mendadak terasa tidak nyaman. Padahal tak ada "polisi tidur" di situ. Tapi aku berharap jarak yang kutempuh masih panjang dan perlu beberapa lampu merah. Agar sempat mengatur strategi yang paling masuk akal. Namun pikiran itu tercerabut sewaktu telepon selularku bergetar. Susan!

"Hai, aku lupa meneleponmu! Tadi ada kawan yang tanya ini-itu soal acara di Ubud. Biar murah aku menggunakan event organizer milik teman SMP-ku."

"O, no problem. Kebetulan aku sudah di jalan raya."
"Ya sudah, aku paling benci melihat orang mengemudi sambil telepon. Sampai besok, ya. Mmmuah!"

Rasanya pipiku jadi basah oleh sentuhan bibirnya. Kuembuskan napas keras-keras dan mengharap rasa nyaman masuk ke dalam hati. Pagar rumah sudah di depan mata. Langit mulai gelap, lampu-lampu teras di kompleks perumahan sudah menyala. Dan seperti biasa, pembantu segera menarik-geser gerbang besi yang warnanya sudah mulai pudar. Aku memarkir mobil ke carport.

"Ingat pesananku?" Lanfang menyambut di pintu.
"Tentu, Cantik." Kuangkat tinggi-tinggi oleh-oleh titipannya.

"Terima kasih." Dipeluknya aku, meskipun aroma tubuhku tak sesegar tadi pagi. Lalu jemarinya membuka dasi dari leherku. Mudah-mudahan itu bukan caranya mencari harum parfum lain yang mungkin menempel di bajuku. Mudah-mudahan.

Yang tak ingin terjadi adalah: Lanfang menemukan undangan Susan. Aku mesti menyimpannya di tempat yang jauh dari jangkauan Lanfang.
***
AKU akan datang sehari sebelum grand opening Galeri Bingkai, yang ternyata letaknya tak jauh dari Galeri Rudana. Tempat yang sungguh rupawan dan sesuai dengan selera Susan. Dia seorang pemilih yang baik. Dia pula yang memilihkan hotel ketika aku bertugas ke Solo.

"Kamu harus menginap di Lor In," usulnya. Karena tempat itu memiliki banyak taman yang khas gaya Bali. Walaupun, ketika sudah melebur di kamar tidur yang luas, nyaris tak berbeda dengan hotel lain. Ingatanku justru selalu tersangkut pada rambut Susan yang berulang kali memenuhi wajahku. Biasanya kesibukan yang membuat tubuh kami lembab itu akan berakhir dengan aroma terapi di seluruh kamar mandi. Harum cendana memenuhi bath-tub.

"Cantik, akhir-akhir ini kamu begitu sibuk." Aku menelepon Lanfang dari kantor.
"Ya. Dalam seminggu ini aku harus sudah selesai memeriksa dan memberikan persetujuan pada calon bukuku sebelum naik cetak. Kenapa?"

"Besok aku tugas ke luar pulau. Ke Lombok, tapi mungkin singgah di kantor cabang Bali dulu. Aku belum sempat membereskan kopor, bisa minta tolong?"

"Oke, tak masalah. Kok mendadak? Berapa hari?"
"Baru kudapat surat tugasnya tadi siang. Sekarang aku harus mengambil tiket sendiri ke agen. Sekitar tiga-empat hari, tergantung bagaimana kondisi network di Lombok."

"Yo wis, ojo bengi-bengi mulihe. Kamu perlu istirahat malam ini."
Tentu tidak akan larut malam, karena sebenarnya tiket sudah kupegang. Tapi yang penting aku tahu, Lanfang begitu sibuk membaca ulang naskahnya yang sudah di-setting.

Rasanya tadi Lanfang mengingatkan agar aku cukup istirahat malam ini. Tetapi yang dilakukan berbeda dengan sarannya. Ia menandai halaman buku yang sedang dibaca, menyurutkan lampu kamar hingga temaram, lalu masuk ke bawah selimutku. Cumbuannya selalu dimulai dari bibir. Mungkin untuk mengingatkanku bahwa ia sesungguhnya tak hanya cerewet, tapi juga cekatan ketika pekerjaan larut malamnya dilakukan tanpa kata-kata.

Sebelum tertidur, Lanfang membiarkan wajahku menyusup ke lehernya. Ke dekat urat nadinya. Setidaknya ia tahu bahwa napasku terembus penuh cinta. Tetapi besok, begitu tiba di Denpasar, kutelepon Lanfang seperlunya, selanjutnya aku akan menggunakan nomor lain. Hanya Susan yang tahu nomor itu. Bagaimanapun, berdusta itu mendebarkan!
***
AKU memarkir mobil yang kupinjam dari kantor cabang di Bali. Senja baru saja lenyap. Kudengar musik sayup gamelan Bali. Rupanya Susan telah mengemas suasana menjadi begitu etnik. Kulihat dinding teras galeri mungil itu dibuat dengan batu paras. Lantai batu alam membuat kesan natural lebih mendalam. Cahaya lampu yang menyiram beranda langsung memperlihatkan wajahku, sehingga Susan yang --seperti telah kuduga sebelumnya-- anggun dengan rambut terurai dan mengenakan kain corak Bali, menoleh ke arahku. Senyumnya merekah. Aku melihat matanya berbinar.

"Oke, teman-teman, para undangan dan wartawan, kekasih yang kutunggu sudah tiba. Kita akan mulai acaranya…"
Aku agak kikuk, namun Susan meleburnya dengan pelukan yang begitu mesra. Ada beberapa bule yang hadir di sana. Justru membuat Susan tidak merasa sungkan mencium bibirku. Dan entah kenapa, para wartawan itu begitu gemar dengan hal-hal yang berlangsung sebentar tetapi berdenyar. Mereka memotret. Sejenak mataku silau.

Namun ketika pelukan Susan lepas dan aku mencoba mengitarkan pandangan, di antara pengunjung kulihat seseorang yang sangat kukenal. Mataku masih terpengaruh oleh kilat lampu blitz. Tapi tidak mungkin lupa wajah istriku.

Lanfang ada di sudut itu! Dengan sebuah kamera digital di tangannya. Wajahnya tertegun. Atau terpesona? Tapi parasnya memucat.
"Baiklah," ujar master of ceremony. "Kita akan mendengar awal gagasan mengenai Galeri Bingkai. Silakan Susan bercerita untuk kita…"

Selanjutnya telingaku tidak menangkap kata-kata Susan, karena segera bergegas mengejar Lanfang yang beringsut begitu cepat ke arah pintu keluar. Aku mengutuk diriku yang mengganti nomor handphone. Pasti ia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin. Apakah aku juga harus mengutuk majalah yang memintanya meliput acara ini? Bukankah dia sedang sibuk dikejar batas waktu oleh penerbit bukunya?

"Lanfang!" aku memanggil.
Di luar sunyi, tapi tidak dengan degup jantungku yang gemuruh.

"Nama Bingkai kupilih karena…." Suara Susan semakin sayup. Sementara di taman yang separuh gelap itu, aku mencari degup jantung Lanfang. ***
Jakarta, 10 Desember 2005